Post

PPLH SELOLIMAN


Yup anak2 trawas/.. pastinya tahu dong kalau di trawas ada Pusat Penelitian lingkungan hidup bertaraf Dunia....


yup anda BENAR itu adalah PPLH seloliman....

Aku pernah kesana saat SMA dikirim sekolahku untuk ikut pelatihan penulaisan ilmiah nasional disana...

benar2 keren... yup next silahkan disimak sejarahnya...



Sejarah Pendirian PPLH





Sejarah pendirian PPLH berawal dari keprihatinan para aktifis lingkungan terhadap kerusakan hutan habitat orang utan di Gunung Leuzer, Sumatera Utara. Mereka khawatir bila kondisi itu tidak diatasi maka populasi orang utan yang ada di daerah tersebut akan punah. Bersama Dirjen Kehutanan dan WWF, para aktifis itu kemudian membuat proyek rehabilitasi hutan gunung Leuser itu. Berkat kegigihan dan kerja sama yang baik, akhirnya orang utan di sana dapat diselamatkan. Dari kegiatan tersebut, mereka menyimpulkan bahwa kerusakan hutan itu lebih disebabkan ulah manusia.
Untuk menindaklanjuti kegiatan ini, pada tanggal 12 Januari 1978 para aktifis lungkungan membentuk Yayasan Indonesia Hijau yang bergerak di bidang pendidikan lingkungan. Mulai tahun 1980-an para aktivis lingkungan yayasan yang berpusat di Bogor ini gencar mengadakan pendidikan lingkungan ke sekolah-sekolah, ormas dan masyarakat umum. Sayangnya, hasil pendidikan yang dilakukan secara berkeliling ini tidak maksimal karena kuantitas pertemuanya sangat sedikit. “Bayangkan, seorang siswa hanya mendapat kesempatan bertemu dengan kami sekali seumur hidup. Itupun hanya dua jam. Bagaimana mungkin mengharapkan dia bisa mempunyai pengetahuan dan kesadaran yang mendalam dengan pola pendidikan semacam itu.


Belajar dari pengalaman itulah, beberapa aktifis YIH melontarkan ide untuk membuat tempat yang permanen di tepi hutan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan lingkungan. Mereka berharap dengan tersedianya tempat yang representatif, pendidikan lingkungan bisa dilakukan secara intensif. Siswa-siswa sekolah atau masyarakat umum bisa datang ke tempat itu setiap saat untuk belajar sambil refreshing.
Pada tahun 1985 Suryo mendapat kesempatan memandu beberapa tamu WWF yang berkunjung ke Indonesia. Mereka melakukan peninjauan lapangan ke berbagai tempat untuk melihat bagaimana program pelestarian alam dilakukan di Indonesia. Pada kesempatan itulah Suryo menceritakan tentang kegiatan pendidikan lingkungan yang dilakukannya bersama YIH. Para staf WWF ini ternyata tertarik pula untuk melihat langsung kegiatan tersebut. Merekapun datang ke beberapa sekolah untuk melihat langsung jalannya pendidikan. Mereka nampaknya terkesan dengan antusiasme para siswa dan mendorong upaya-upaya ini terus dikembangkan dan dilakukan.
Pada kesempatan yang sama, Suryo mendiskusikan dengan mereka tentang berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program itu dan keinginannya mendirikan pusat pendidikan lingkungan hidup. Para staf WWF berjanji akan membantu asalkan mereka bisa diyakinkan bahwa program ini bisa dikelola secara mandiri. Mereka meragukan gagasan itu bisa direalisir karena program serupa yang sebelumnya pernah dikelola oleh pemerintah tidak ada yang berjalan dengan baik. Karena itulah, mereka meminta Suryo membuat proposal yang dilengkapi dengan planing pengembangan, program-program yang akan dilakukan, sketsa atau rancangan bangunan, serta anggaran pembangunannya. Suryo juga diminta untuk membentuk kepanitiaan kecil yang bertugas menyiapkan pendirian dan pengembangan lembaga tersebut.
Setelah melalui diskusi dan perdebatan panjang, Suryo akhirnya bisa meyakinkan WWF Internasional bahwa dirinya bersama YIH siap mendirikan dan mengelola pusat pendidikan lingkungan itu. Pada tahun 1988 WWF memenuhi komitmennya dengan memberi bantuan Rp.150 juta untuk membantu pembangunan PPLH itu. Bersama staf YIH, Suryo kemudian melakukan survey lapangan untuk mencari daerah yang cocok bagi pendirian PPLH. Setelah melakukan survey di beberapa daerah sekitar Jakarta dan Bogor, mereka menyimpulkan tidak mungkin membangun sebuah pusat pendidikan dengan dana sekecil itu. Mereka akhirnya memilih daerah Seloliman di Mojokerto, Jawa Timur, sebagai lokasi pendirian PPLH.
Proyek pembangunan PPLH dimulai pada pertengahan 1988. Dari Rp.150 juta dana yang diberikan oleh WWF, Rp.90 juta digunakan untuk membeli tanah seluas 3,7 hektar. Di atas lokasi itu kemudian dibangun ruang seminar, restoran, dan bangunan depan yang menghabiskan biaya Rp. 50 juta. Rancangan arsitektur komplek PPLH ini dirancang oleh Hans Ulrich Fuhrke, seorang arsitek berkebangsaan Jerman yang kemudian menjadi wakil Suryo di kepengurusan PPLH. Sisa dananya digunakan untuk membiayai program dan kegiatan PPLH. Selain bantuan WWF, PPLH juga menerima bantuan dari beberapa lembaga. Misalnya, kedubes Inggris memberikan bantuan buku-buku untuk perpustakaan, tungku hemat energi dari Universitas Petra Surabaya, tanaman obat-obatan dari masyarakat, dll. “Selama proses pembangunan berlangsung, kegiatan pendidikan tetap jalan. Kita pindahkan pendidikan di sekolah di sekolah-sekolah itu ke lokasi pembangunan PPLH sembari mensosialisasikan proyek ini ke masyarakat,”
Pada tanggal 15 Mei 1990, PPLH dibuka secara resmi oleh Pangeran Bernhard dari Belanda. Presiden WWF ini hadir di Seloliman atas lobi dan pendanaan dari beberapa lembaga dan pengusaha Belanda. “Kita memang habis-habisan melobi mereka untuk membantu mendatangkan Prince Bernhard. Kita beranggapan bahwa kehadiran tokoh lingkungan internasional ini penting untuk membangun kepercayaan dari dalam maupun luar negeri. Kedatangan ketua WWF ini menjadi selling point bagi kita dalam mengembangkan lembaga ataupun melakukan fund raising.”
Kehadiran petinggi WWF itu memang berpengaruh dalam meraih perhatian dan simpati dari dunia internasional terhadap eksistensi PPLH yang baru berdiri. Begitu lembaga ini beroperasi, dukungan dari masyarakat, khususnya luar negeri, cukup banyak. Beberapa negara sahabat, seperti Jerman, Belanda, Perancis, Amerika dan Australia menaruh perhatian besar terhadap perkembangan lembaga ini. Mereka senang Indonesia sudah berbuat sesuatu untuk mendidik tentang kelestarian lingkungan.
Mulai saat itu PPLH sering dikunjungi oleh ahli-ahli lingkungan dari luar negeri. Banyak diantara mereka yang menyumbangkan pikiran dan keahliannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di PPLH. Beberapa duta besar negara sahabat juga bersedia datang dan memberikan komitmen pribadi atau kelembagaan untuk membantu PPLH. Bantuan mereka itu diwujudkan dalam bentuk pembangunan sarana dan fasilitas pendukung seperti laboratorium, perpustakaan, rumah kaca, bungalow dan lain sebagainya.
Memasuki tahun 1991 upaya pengembangan lembaga secara mandiri mulai dilakukan. PPLH mulai menawarkan paket-paket program ke berbagai sekolah, instansi, LSM, organisasi massa dan masyarakat umum. Promosi tentang eksistensi lembaga dan program-program yang dikelola juga mulai dilakukan dengan mengundang para aktifis lingkungan lokal dan internasional, dubes asing, dan masyarakat umum untuk berkunjung ke PPLH. Upaya-upaya semacam ini dimungkinkan karena PPLH sudah memiliki kurikulum dan sarana pendidikan serta tempat menginap yang memadai. Mulai tahun 1992 tamu yang datang ke PPLH meningkat tajam sehingga lembaga ini sudah bisa menutupi cost operasionalnya dari kontribusi yang diberikan oleh para pengunjung. “Kita tetapkan penawaran paket-paket program sebagai basis kita dalam melaksanakan visi lembaga sekaligus upaya fund raising.
Keberhasilan pengelolaan PPLH di Seloliman ini rupanya memancing minat pihak lain untuk mendirikan PPLH di daerah lain. Pada tahun 1998 beberapa staf PPLH Seloliman memotori pendirian PPLH di Sanur, Bali. Beberapa bulan kemudian, para aktifis lingkungan di Sulawesi Selatan tepatnya di Dusun Putondo dibantu staf PPLH Seloliman juga mendirikan lembaga serupa. PPLH Seloliman sendiri kemudian mengembangkan programnya dengan mendirikan Urban Centre di Surabaya sebagai tempat kajian berbagai persoalan di perkotaan.
“Berdirinya lembaga-lembaga itu sebenarnya di luar rencana pengembangan. Namun, banyak orang, termasuk mantan menteri negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmaja, yang berharap lembaga semacam ini bisa dikembangkan di daerah lain. Walau punya nama yang sama, tidak berarti kami dikelola oleh manajemen yang sama. Pengelolaan ketiga lembaga itu dilakukan secara terpisah oleh manajemen yang berbeda. Kita hanya punya keterkaitan sejarah sebagai salah satu elemen yang ikut membidani kelahiran mereka. Kita juga punya spirit, program dan komitmen yang sama untuk saling membantu antar lembaga dalam pengembangan pendidikan lingkungan di Indonesia. Sampai saat ini, kita masih memperdebatkan dan merumuskan pola hubungan dan kerja sama antara PPLH di Seloliman dengan PPLH didaerah lain.”

(nasyih Aris)
Sumber": pplh webs

izin share mz, mogga2 berkah ilmunya ^_^

Thx broo, sangat membantu